INDONESIA masih berada di tengah kemarau basah. Memasuki minggu ketiga bulan Agustus hujan semakin sering datang, sebentar-sebentar namun telah menimbulkan musibah banjir di beberapa daerah, misalnya di Padang, Tangerang, dan Trenggalek, Jawa Timur, salah satunya.
Udara di Jakarta terasa lebih panas pada beberapa waktu lalu turun drastis ketika hujan, di beberapa daerah yang memiliki hutan mulai terdengar kabar kebakaran lahan dan kabut asap yang akan mengingatkan kita pada musibah yang sama di tahun sebelumnya, juga mengenai kerusakan karst.
Kompleksitas persoalan lingkungan kian hari terus bertambah pelik dan sebagai salah satu alternatif yang dapat menengahi dua kutub yang berhadap-hadapan, yaitu pemanfaatan alam dan kelestarian alam (khususnya bentang alam karst), pariwisata diajukan sebagai jalan keluar.
Pada hari Jumat sampai dengan Minggu, 16-18 September 2016 nanti, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung menjadi lokasi pertemuan para penggiat olahraga petualangan penelusuran gua (caving), ilmuwan dan akademisi, para pemerhati dan aktivis gerakan pariwisata di kawasan karst bertajuk Workshop Pengelolaan Wisata Gua.
Acara tersebut merupakan perhelatan nasional yang bertujuan untuk merespon berbagai keadaan terkini, baik dalam kaitannya dengan pembaruan perspektif pariwisata di dalam gua atau di kawasan karst baik yang bersifat wisata minat umum maupun wisata minat khusus.
Pariwisata pada workshop ini akan ditempatkan sebagai isu yang layak untuk dipertimbangkan terkait kawasan karst yang belakangan semakin sering mengisi ruang pemberitaan media cetak maupun elektronik.
Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para penggiat penelusuran gua, pemandu wisata, peneliti, akademisi, mahasiswa, dan para pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan gua wisata diasumsikan dapat mendorong pengelolaan dan pengembangan wisata gua-gua di Indonesia secara berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan karst melalui pengembangan destinasi wisata gua tanpa tergelincir pada usaha ekstraktif yang merugikan kelestarian alam.
Workshop Pengelolaan Wisata Gua rencananya akan dihadiri oleh sekitar 150 orang peserta dan undangan dengan berbagai latar belakang keilmuan. Acara dimulai sejak pagi hari Jumat dengan diisi oleh beragam bahasan yang menyoal perihal speleologi sebagai sebuah ilmu interdisipliner, baik dalam bentuk kelas pleno maupun komisi-komisi, di antaranya kelas pengelolaan destinasi wisata gua yang meliputi identifikasi dan regulasi pengelolaan wisata gua terkait konservasi, infrastruktur, dan impact mitigation; kelas kepemanduan wisata gua meliputi standar pemanduan dan etika pemanduan serta menyangkut teknikal yang meliputi standar alat, pemakaian, perawatan, dan sistem.
Dialog dan diskusi mengenai sejarah, dinamika, problematika, dan tantangan wisata gua di Indonesia menjadi bahasan yang juga akan diketengahkan. Bagi awam, tentu saja topik-topik pembicaraan yang diangkat akan terdengar aneh di telinga. Apa sesungguhnya yang bisa dibicarakan tentang sebuah gua?
Selama tiga hari nanti di bulan September tahun ini, bentang alam karst dan lubang gelap di bawah tanah yang biasa disebut gua menjadi topik yang dibicarakan dengan seksama oleh para narasumber dan peserta yang akan terlibat dalam acara. Para penelusur gua dan ahli speleologi (ilmu tentang gua) serta pariwisata senusantara akan berkumpul dan bertemu di sana.
Ini merupakan babak baru wisata gua di Indonesia dan sekaligus ajang pertemuan-istimewa para penggiat speleologi, pengamat dan masyarakat karst, ilmuwan pariwisata dan penelusur gua. Segala harapan dan kekhawatiran peserta akan disampaikan di dalam forum agar dapat dihasilkan peta dan daftar tugas serta pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Speleologi bukan lagi istilah baru. Di Indonesia ilmu tersebut mulai diintroduksi pada akhir dekade 70-an dan seiring waktu terus mengalami perkembangannya. Beberapa organisasi yang turut membidani tersebarluasnya kegiatan speleologi pada dekade awal kelahirannya antara lain Specavina, Garbabhumi, Hikespi, Bogor Speleological Club (BSC), dan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) –untuk sekadar menyebut beberapa klub saja. Ilmu ini bermula muncul dari Eropa, mengikuti perkembangan olahraga menelusuri gua (caving) yang telah dikenal di sana sejak lebih dari 200 tahun yang lalu.
Diselenggarakannya Workshop Wisata Gua yang menjadi rangkaian dari perayaan Hari Pariwisata Dunia 2016 ini punya arti tersendiri bagi para penelusur gua, pengamat ekowisata, pemandu wisata, ahli karst, serta masyarakat karst secara umum. Inilah pertemuan pertama dalam skala nasional yang diadakan oleh Masyarakat Speleologi Indonesia (Indonesian Speleological Society) dan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.
Selain itu beberapa organisasi speleologi dunia juga turut memberikan apresiasinya atas rencana ini, bahkan Australasian Cave and Karst Management Association (ACKMA) sangat mendukung dan berjanji akan mengirimkan dua orang ahlinya untuk turut memperkaya acara. Setidaknya delapan narasumber ahli dari dalam dan luar negeri telah menyanggupi untuk mengisi berbagai sesi yang ada pada acara yang juga mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia ini.
Selain untuk undangan, kegiatan Workshop Pengelolaan Wisata Gua ini juga terbuka untuk umum. Bagi rekan-rekan yang berminat ikut terlibat berdiskusi dapat segera mendaftarkan diri melalui laman situs http://caves.or.id/workshop/registrasi. Workshop ini juga akan dimeriahkan dengan beberapa acara pendukung, antara lain: pameran fotografi gua yang berasal dari komunitas penelusur gua dan pencinta alam dari seluruh Indonesia. Lalu ada pameran perlengkapan alat-alat aktivitas luar ruang, wa bil khusus yang terkait dengan kegiatan penelusuran gua.
Oleh Mirza Ahmad Heviko, Masyarakat Speleologi Indonesia