KedaiPena.com – Juru Bicara era Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi menyatakan kekhawatiran masyarakat atas disahkannya BPI Danantara sama sekali tidak bisa disalahkan.
“Karena Danantara ini tak jelas kelaminnya. Apakah dia itu lembaga politik atau lembaga keuangan atau lembaga negara. Kalau memang lembaga keuangan maka harus dikelola oleh orang-orang keuangan, orang bisnis. Kalau lembaga negara, ya jelas itu dimiliki oleh negara. Tapi kan ini campur aduk. Jadi wajar ada kecurigaan rakyat, uang dikumpulkan ini apakah untuk dirampok ramai-ramai?” kata Adhie, dikutip Rabu (12/3/2025).
Ia menyatakan pikiran rakyat ini berawal dari kondisi negara ini, dimana terjadi korupsi di semua lini pemerintahan.
“Coba, dimana duit rakyat yang tidak dicuri di negara ini? Disimpan dimana aja bisa dicuri. Dana haji saja tidak jelas,” ujarnya.
Adhie menyebutkan, dari banyaknya kasus, ia bisa menyimpulkan bahwa dana yang tidak punya pemilik, pasti menjadi objek bancakan.
“ASABRI, itu uang prajurit, dikumpulkan, dikelola oleh bukan pemiliknya, pemiliknya bisa berganti-ganti. Sehingga saat mengelola, bisa saja yang ditugaskan disana berpikir, ya pakai saja dulu. Jiwasraya juga begitu. BUMN-BUMN itu kan milik negara, bisa berganti pengelolanya. Tidak ada pengawasannya,” ujarnya lagi.

Dalam situasi korupsi yang brutal di Indonesia, lalu muncul aksi mengumpulkan dana dalam satu lembaga, yang akhirnya memicu pemikiran negatif dari masyarakat.
“Memang saya dengar tujuannya baik. Tapi ada ujaran yang seperti ini, jalan menuju ke neraka itu penuh dengan niat baik. Jadi tidak cukup hanya niat baik. Membuat sesuatu dengan niat baik, harus dibarengi dengan tata kelola yang baik pula,” kata Adhie lebih lanjut.
Keberadaan undang-undang pun, tegasnya, tak bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi penyelewengan pada pengelolaan dana tersebut. Karena, berkaca dari beberapa kasus, korupsi yang terjadi di Indonesia ini didasarkan pada undang-undang.
“Bikin undang-undang, biar bisa ada celah untuk mencuri. Contohnya, UU Alih Fungsi Hutan. Itu kan karena orang mau mencuri hutan, tapi dilindungi oleh status Hutan Lindung. Dibikinlah undang-undang, agar bisa dikelola. Jika di hutan tersebut tidak ada bahan tambang yang bisa dimanfaatkan, paling tidak mereka sudah dapat kayu dari hasil pembabatan hutan,” ungkapnya.
Atau, contoh lainnya, pembangunan jalan tol di daerah atau menembus hutan, yang sebenarnya tidak memiliki titik strategis. Proyek jalan tol disusun, dana pembangunannya di mark-up, hutan dibabat, walaupun pada akhirnya jalan tol itu tidak dipergunakan, tapi pelaku pembangun sudah mendapatkan dana mark up dan hasil penjualan kayu.
“Jika lingkungan rusak, terjadi bencana banjir, toh tinggal salahkan saja cuaca. Hujan ekstrem yang jadi tersangka utama. Dan rakyat diam saja,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa