KedaiPena.Com – Pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir yang membandingkan kerugian PT Pertamina (Persero) dengan perusahaan migas multinasional adalah telah menunjukkan ketidakmampuan dia dalam mengelola BUMN.
Direktur Eksekutif 98 Institute Heriyono Nayottama mengatakan, sungguh ironi bahwa Menteri Erick sangat bangga dengan kerugian yang dialami Pertamina, meskipun ‘hanya rugi’ USD 767,92 juta atau setara Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500) pada semester satu 2020.
Menurut Erick, nilai kerugian Pertamina lebih kecil dibandingkan perusahaan migas di dunia. Dia mengatakan, perusahaan-perusahaan seperti Exxon dan Eni menelan kerugian yang jauh lebih besar akibat pandemi virus Corona (Covid-19).
“Kalau pengusaha jadi menteri pasti begini, alasan mengelesnya banyak. Ini sungguh menyesatkan, rugi hanya Rp 11,13 triliun malah bangga. Ingat, seberapa pun kerugian yang dialami BUMN tetap rakyat yang menanggung kerugian itu,” kata Heriyono di Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Penjelasan Heriyono, membandingkan kerugian Pertamina dengan perusahaan seperti Exxon, Chevron, Shell, dan BP, adalah sebuah jurus mengeles gaya pengusaha.
“Orang bodoh dan tolol juga paham bahwa namanya rugi tetap rugi, tidak perlu ngeles. Lalu apa hebatnya Erick jadi menteri kalau lihat BUMN rugi lalu jurus ampuhnya membandingkan dengan perusahaan asing,” ujar dia.
Heriyono berkomentar, perlu diingat bahwa mayoritas dari perusahaan migas multinasional tersebut adalah perusahaan swasta, beda dengan Pertamina yang BUMN.
“Kenapa Erick tidak membandingkan Pertamina dengan Saudi Aramco, Kuwait Petroleum Company, dan perusahaan milik negara yang semua masih untung. Apakah ini juga jurus mengeles dia untuk melindungi komisaris dan direksi yang dia pilih ternyata tidak mumpuni,” jelas dia.
Heriyono menegaskan, semestinya Erick memecat komisaris dan direksi BUMN kalau ternyata merugikan negara dalam mengelola BUMN lalu mencari komisaris dan direksi yang bisa bikin untung.
“Erick seharusnya segera copot Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari kursi komut dan Nicke Widyawati dari kursi dirut. Atau dugaan bahwa mereka adalah ‘orang titipan’ adalah benar, jadi tidak peduli soal kinerja,” tegas dia.
Pendapat Heriyono, Presiden Jokowi harus waspada karena saat ini di sekitarnya para oligarki sedang akan berupaya melakukan pencitraan menjelang tahun politik 2024.
“Fakta sudah terlihat jelas, kalau kita jujur menilainya, orang seperti Erick Thohir, Ahok, dan Nicke secara kinerja mengelola BUMN tidak terbukti kemampuannya,” ucap dia.
Heriyono menegaskan, langkah pertama yang bisa dilakukan Presiden Joko Widodo adalah memecat Erick Thohir dan mengganti dengan figur yang benar mumpuni dalam mengelola BUMN.
Kemudian, lanjut dia, mencopot Ahok dan Nicke dari kursi komut dan dirut Pertamina. Lalu, kata Heriyono, negara harus mencari komisaris dan direksi yang bisa bikin untung Pertamina.
“Kalau Erick tidak dipecat, omongan publik akan terbukti bahwa Erick adalah salah satu orang yang menjadi penyokong dana Jokowi kala pilpres kemarin. Kalau sudah utang budi dalam mengelola negara, pasti akan berantakan sistem kenegaraannya,” katanya.
Laporan Bulanan
Di satu sisi, terkait berita laporan keuangan pada Juli 2020 yang menyebut Pertamina untung Rp 5,9 triliun sangat janggal.
“Hal itu tidak lazim. Laporan semester satu rugi tiba-tiba dalam satu bulan untung, untuk mengurangi tingkat kerugian. Itu hanya untuk perang pencitraan saja. Mau laba berapa kumulatifnya masih rugi,” ungkap Heriyono.
Dia melanjutkan, apalagi bila dilihat bahwa dibandingkan laporan raksasa dunia lainnya, laporan Pertamina belum memasukkan impairment dan lain sebagainya.
Bentuk impairment atau penurunan nilai itu bermacam, ada utang tidak tertagih, dan ada perubahan dari nilai pembukuan dari sebelumnya. Misal, nilai buku beli blok pada harga minyak saat itu berapa. Lalu ketika harga minyak turun, nilai buku turun juga sehingga harus impairment.
“Nilai impairment yang belum dicatatkan Pertamina taksiran saya sekira pada harga minyak USD 20 hingga USD 30 per barel adalah USD 1 miliar. Belum lagi masalah ARO (After Retained Obligation) di mana Pertamina harus menanggung biaya pemulihan kembali setelah blok habis,” jelas Heriyono.
Laporan: Sulistyawan