Artikel ini ditulis oleh Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mengemuka setelah beberapa waktu yang lalu dalam sebuah rapat di Komisi 3, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md meminta anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendukungnya.
Ketika permintaan itu diajukan, pihak Pemerintah sebagai pengusul RUU belum menyerahkan draf RUU Perampasan Aset kepada DPR sehingga DPR belum bisa membahasnya. Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Perampasan Aset baru diterima DPR pada tanggal 5 Mei 2023 yang lalu sehingga DPR baru bisa membahasnya nanti setelah berakhirya masa reses yaitu pada pertengahan bulan Mei 2023.
Mengapa pembahasan RUU Perampasan Aset itu terkatung katung pembahasannya? Apakah Ketentuan Perampasan Aset yang ada saat ini dinilai belum cukup untuk merampas harta hasil kejahatan di Indonesia. Mengapa RUU Perampasan Aset dibilang pedang bermata dua? Apakah kehadiran RUU ini juga memang sedang dinantikan oleh” kawanan domba” dalam penegakan hukum di Indonesia?
Terkatung Katung
Kalau kita telusuri sejarahnya, sebenarnya usulan untuk membentuk RUU Perampasan Aset sudah berlangsung cukup lama. Usul untuk membentuk RUU Perampasan Aset lahir di tengah keputusasaan banyak pihak menyaksikan kasus korupsi yang merajalela di Indonesia. Usul itu sudah dimulai sejak tahun 2008 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pada bulan November tahun 2010, RUU ini kemudian rampung dibahas antar kementerian untuk dimajukan pada tahapan selanjutnya. Melalui surat Menteri Hukum dan HAM No. M.HH.PP.02.03-46 RUU Perampasan Aset disampaikan kepada presiden pada 12 Desember 2011, kemudian harmonisasi naskah akademik dilakukan pada tahun 2012. RUU Perampasan Aset sempat masuk masuk sebagai RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah pada tahun 2015, namun setelah itu ceritanya seperti hilang begitu saja.
Pembicaraan mengenai RUU Perampasan Aset kembali mengemuka setelah RUU tersebut tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti diberitakan, Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3/2021) mengesahkan 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pengesahan 33 RUU itu pun disorot oleh sejumlah pihak lantaran salah satu RUU yang dinilai penting yaitu RUU Perampasan Aset Tindak Pidana justru tak masuk didalamnya.
Tidak masuknya RUU Perampasan Aset kedalam Prolegnas 2021 disesalkan banyak pihak karena mengindikasikan bahwa pembentuk Undang Undang (khususnya DPR) dinilai tidak mempunyai political will yang kuat dalam upaya Perampasan Aset hasil tindak pidana di Indonesia.
Dikalangan pegiat sosial media, bahkan muncul anggapan bahwa seolah orang Presiden dalam hal ini telah begitu kuat mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset tetapi wakil rakyat dikesankan tidak terlalu meresponnya. Pada hal berkaca pada pembahasan pembahasan RUU yang lainya dimana ada RUU yang bisa berlangsung cepat dan mulus karena pihak Pemerintah mempunyai kemauan kuat untuk mendorongnya. Bukankah hari ini semua partai yang diwakili fraksi di DPR takut kepada Pemerintah yang berkuasa?
Oleh karena itu kalau pemerintah berkehendak alias punya titah, tidak sulit sebenarnya untuk merampungkan RUU yang dikehendakinya. Buktinya RUU Cita Kerja yang sangat tebal halamannya tidak lama pembahasannya. Begitu pula RUU Revisi UU KPK, RUU IKN (Ibukota Negara) RUU Minerba, RUU tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona dan sebagainya.
Sehingga tidak tepat kalau terkatung katungnya pembahasan RUU Perampasan Aset karena pihak DPR tidak terlalu menghiraukannya atau sengaja untuk mengulur ulur waktu penyelesaiannya karena ada kekuatan lain yang sesungguhnya lebih berperan menentukannya.
Seberapa Urgen?
Akhir akhir ini UU Perampasan Aset seakan didewa-dewakan sebagai usaha penyelamat khususnya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kehadirannya begitu dinantikan seolah olah menjadi solusi jitu untuk merampas asset asset hasil kejahatan khususnya korupsi yang saat ini begitu merajalela. Pandangan ini tentu saja tidak sepenuhnya salah mengingat instrumen ”persenjataan” yang dipersiapkan dalam RUU Perampasan Aset tersebut cukup untuk membuat ritme jantung para koruptor berdetak kencang karenanya.
Tetapi sebenarya minimnya perampasan aset terhadap para pejabat yang memiliki aset berlimpah dan diduga terkait dengan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan karena sama sekali tidak ada instrumen yang mengaturnya.
Sejauh ini sudah ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut diantaranya Pasal 67 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan, aparat penegak hukum dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan harta kekayaan yang diketahui, atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak menerimanya.
Bahkan, Mahkamah Agung pun telah membuat tata cara dalam penanganan aset ilegal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.
Kendati demikian, sejak 2013 hingga 2020, menurut penelitian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya terdapat empat kasus yang dirampas aset ilegalnya dengan mempergunakan instrumen Pasal 67 UU No 8 Tahun 2010 jo Perma No 1 Tahun 2013 tersebut, yakni satu kasus terkait narkotika dan tiga kasus terkait pemalsuan identitas dalam suatu bussiness email compromise (phising). Jadi, tampak sangat jelas bahwa tidak ada satu pun perampasan aset terkait kasus korupsi dilakukan dengan memberdayakan instrumen yang sudah ada.
Di sisi lain, UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun telah mengatur mekanisme perampasan aset tanpa harus terbukti tindak pidana korupsinya, yakni melalui gugatan perdata. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah instrumen penegakan hukum yang ada itu sudah dimanfaatkan secara optimal oleh aparat penegak hukum yang menangani perkaranya ?
Sebagai contoh tanpa harus menunggu RUU Perampasan Aset disahkan, sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini yang menangani kasus Rafael Alun bisa memaksimalkan penggunaan pasal di Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Jika KPK bertindak cepat atas laporan analisis PPATK, penyidik dapat mengajukan permohonan penyitaan, bahkan perampasan aset tanpa pemidanaan kepada pengadilan negeri yang diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) UU TPPU.
Mekanisme tersebut telah diujikan penerapannya dan menjadi preseden baik dalam sejumlah kasus yang pernah ada. Contoh kasus perampasan aset tanpa pemidanaan yang dimohonkan penyidik kepada pengadilan negeri dan dikabulkan adalah kasus penipuan atau pemalsuan data oleh salah satu nasabah Nindy Helsa di Pengadilan Negeri Bogor, kasus pembajakan e-mail lintas negara yang dilakukan oleh Foshan Zebro Ltd di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kasus narkotika dengan tersangka Salahudin di Pengadilan Negeri Batam dan sebagainya.
Jika aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik KPK serius, tentu akan selalu ada peluang untuk menggunakan pasal atau ketentuan yang sudah ada. Namun mengapa ketentuan yang sudah ada itu tidak dioptimalkan penggunaannya?
Bahwa RUU Perampasan Aset nantinya dapat melengkapi dan menyempurnakan potensi perampasan asset hasil kejahatan pidana khususnya korupsi, hal ini tentu saja sangat bisa diterima nalar dan logika. Namun, yang paling penting adalah apakah instrumen dalam RUU Perampasan Aset tersebut nantinya akan didayagunakan sebagaimana mestinya?
Jangan sampai kita terjebak pada euphoria ingin menggolkan sebuah ketentuan atau Undang Undang tapi ujung ujungnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.Hal ini mengingat bahwa instrumen-instrumen yang sudah tersedia pun nyatanya tidak dioptimalkan pemanfaatannya.
Di tengah tengah “tekanan” untuk segera disahkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, saya menjadi teringat beberapa Undang Undang yang dulu juga begitu getol di dorong untuk bisa disahkan segera yaitu Undang Undang MLA atau Undang-Undang tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (UU MLA).
Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan beberapa negara diantaranya Australia (diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1999), China (diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006), dan juga Korea. Selain itu ratifikasi juga dilakukan dengan negara negara seperti Hong Kong, India, dan Vietnam, Uni Emirat Arab, Iran, Swiss, dan Rusia.
Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. MLA antar negara-negara ASEAN ini diwujudkan melalui UU No. 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana).
Terakhir telah disahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss dimana Undang Undang ini disahkan tanggal 5 Agustus 2020 yang lalu.
Dengan telah ditandatanganinya beberapa UU MLA tersebut harapannya aset aset warga negara Indonesia hasil kejahatan yang ada dimancanegara bisa ditarik pulang ke Indonesia. Lebih lebih sebelumnya Presiden Jokowi pernah menyatakan adanya dana tak kurang dari 11 ribu triliun yang bisa dikembalikan ke Indonesia.
Tetapi seperti diketahui bersama UU MLA yang sudah disahkan tersebut nampaknya belum optimal dilaksanakan sehingga belum mampu mengembalikan aset dan uang warga negara Indonesia hasil kejahatan yang disimpan di beberapa negara.
Oleh karena itu ditengah tengah gencarnya keinginan untuk pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, kiranya kita perlu berkaca ulang pada beberapa Undang Undang yang telah disahkan sebelumnya yang ternyata masih belum optimal dilaksanakan juga. Fenomena ini bisa memunculkan dugaan jangan jangan kalau RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan, nasibnya akan sama dengan UU MLA yang hingga kini tidak jelas sejauh mana realisasinya.
Pedang Bermata Dua
Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, ramai munculnya tuntutan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan berlakunya. Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya.
Dengan segera dibahas dan disahkannya UU Perampasan asset maka bisa dijadikan sebagai intrumen untuk memudahkan aparat penegak hukum mengejar dan menyita aset hasil tindak pidana. Selama ini, harta hasil kejahatan seseorang sulit disita negara karena melalui proses peradilan yang begitu panjang jalannya. Dalam proses itu, seseorang bisa segera menghilangkan jejak aset dan harta hasil kejahatannya sehingga tak terendus ketika penegak hukum hendak menangkapnya.
Selain itu tujuan UU ini juga diharapkan mampu mendorong upaya untuk pemberantasan korupsi, yakni memiskinkan para koruptor yang menikmati harta hasil menggarong kekayaan negara. Kebetulan Indonesia yang sedang berusaha membersihkan diri dari penyakit korupsi sudah begitu merajalela.
Itulah sisi sisi positif dari disahkannya RUU Perampasan Aset yang saat ini begitu dinantikan kehadirannya. Namun di sisi lain kehadiran UU Perampasan asset ini bisa menjadi alat negara buat melanggar hak-hak privasi yang menghambat demokrasi di Indonesia.
Hadirnya Undang-Undang Perampasan Aset bisa membuka peluang munculnya konflik kepentingan yang sangat besar diantara anak anak bangsa. Karena Undang-undang ini akan memberikan legitimasi kepada negara lewat aparat penegak hukum untuk bertindak seperti penagih utang yang bisa sewenang wenang merampas asset seseorang tanpa Pengadilan sehingga bisa muncul tindakan semena mena.
Jika kelak Undang-Undang Perampasan Aset ini terbit, maka seorang oligarki bisa saja membayar politikus dan penegak hukum untuk memenjarakan musuh bisnis dan politiknya sekaligus menyita asetnya. Apa yang dilakukanya menjadi sah karena melalui prosedur hukum yang direstui oleh ketentuan yang ada.
Kalau hal tersebut terjadi maka potensial terjadinya relasi atau hubungan antara kuasa politikus-oligarki-birokrasi-aparatur hukum dimana Undang-Undang Perampasan Aset akan makin menjerumuskan Indonesia ke sumur kegelapan penegakan hukum yang saat ini sudah sangat terasa. Jual beli hukum akan semakin marak dipraktekkan karena ada aturan ketentuan yang menopangnya. Para pebisnis akan semakin dalam masuk dunia politik untuk mempengaruhi penegakan hukum yang menguntungkannya.
Politik akan semakin mewarnai kerja kerja penegakan hukum kita. Contoh nyata terlihat dalam perebutan konsesi nikel yang melibatkan perskongkolan antara penguasa dan pengusaha. Dengan uang yang dimilikinya, seorang pengusaha bisa membayar pejabat negara untuk mengesahkan perusahaannya. Korupsi, konflik dan kewenang wenangan akan semakin subur memakai hukum dan pranata pranata demokrasi sebagai sarananya
Oleh karena itu agar Undang-Undang Perampasan Aset mendorong pemberantasan korupsi sekaligus tak menjadi alat kekuasaan maka diperlukan: 1. Peradilan yang bersih dan mandiri 2. Penegakan hukum yang profesional 3. Penegakan korupsi yang tak pandang bulu dan sebagainya
Jika hal ini bisa diwujudkan akan memungkinkan upaya untuk memangkas praktek korupsi yang membudaya sehingga dapat teratasi dengan terciptanya undangan undangan perampasan aset yang berpihak kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara bukan kepentingan oligarki atau penjahat yang menjadi pelakunya. Tanpa didahului prasyarat ini maka maka pengesahan undang undang Perampasan asset dikhawatirkan hanya akan menjadi legitimasi kesewenang wenangan penguasa saja.
Dinanti Kawanan Domba?
Ketika kita berbicara mengenai Peradilan yang bersih dan mandiri, penegakan hukum yang profesional dan penegakan hukum yang tak pandang bulu maka sesungguhnya kita sedang berbicara mengenai integritas aparat penegak hukumnya.
Memang dalam penegakan hukum ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu hukum atau peraturannya sendiri, sarana dan prasarana, budaya hukum masyarakat, dan penegak hukumnya. Namun faktor yang disebut terakhir inilah yang dianggap paling menentukan dalam penegakan hukum yaitu integritas aparat penegak hukumnya.
Seistimewa apa pun instrumen persenjataan (Undang Undang tersebut dibuat), tidak akan berarti di tangan aparat penegak hukum yang korup yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Penegak hukum model begini akan dengan gampang menjadi alat penguasa untuk memukul lawan lawan politik atau pihak pihak yang tidak disukainya.
Penegak hukum seperti itu layaknya kawanan domba yang dibekali ”gigi taring” untuk membasmi gerombolan kancil, tetapi pada akhirnya kawanan domba malah saling berbagi menikmati ”rerumputan” bersama gerombolan kancil yang seharusnya ditumpasnya. Mereka sangat disukai oleh oknum yang korup karena mudah digembalakan dan diarahkan sesuai dengan keinginan pengendalinya.
Berbeda halnya dengan aparat penegak hukum yang berintegritas, mereka laksana singa yang tidak segan-segan untuk menerkam dan melahap habis gerombolan kancil, bahkan meskipun giginya mungkin sudah tidak ada.
Sama halnya dengan disahkannya RUU Perampasan Aset nantinya,meskipun Undang Undangnya sudah ada namun kalau aparat penegak hukumnya korup dan menjadi pengabdi rejim yang sedang berkuasa maka Undang Undang yang ada itu bisa dijadikan sarana untuk memukul lawan lawan politiknya sehingga bisa melanggar hak hak azasi manusia.
Bisa jadi juga kawanan domba itu sebagian memang sedang menanti disahkannya RUU Perampasan Aset untuk melampiaskan dendam politik penguasa terhadap lawan lawan politik melalui aparat penegak hukum yang bisa dikendalikannya.
Alhasil kita tentunya sepakat bahwa RUU Perampasan Aset memang merupakan instrumen penting yang diperlukan dalam pemberantasan kejahatan khususnya korupsi yang ada di Indonesia untuk memberikan efek jera, tetapi jangan dilupakan juga pentingnya integritas aparat penegak hukum dalam penegakan hukumnya.
Artinya, di samping terus-menerus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset, perlu juga untuk terus didorong revolusi kultural di dalam lembaga-lembaga penegakan hukum supaya dapat secara massal melahirkan aparat penegak hukum yang berintegritas dan memiliki komitmen dalam pemberantasan kejahatan khususnya korupsi di Indonesia.
Tepat seperti diungkapkan oleh Bernardus Maria Taverne, ”Geef me goede rechters, goede rechter commissarisson, goede officeren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wet boek van strafrecht het goede bereiken” yang kurang lebih berarti ’beri saya hakim yang baik, hakim komisaris yang baik, jaksa yang baik, dan petugas polisi yang baik, dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk, saya akan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik baiknya’.
[***]