KedaiPena.Com- Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja atau Ciptaker dinilai membawa polemik besar. Pasalnya, Perppu Ciptaker membuat sistem hukum Indonesia saat ini ke dalam persimpangan jalan ketidakpastian dan ketidakadilan.
Hal tersebut disampaikan Politikus Partai Demokrat Taufiqurahman merespons langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Cipta Kerja atau Ciptaker pada pekan lalu.
Dalam kesempatan itu, eks Anggota DPRD DKI ini menyinggung pasal 112 ayat (2) Huruf a Perppu No 2 Tahun 2022. Pasal tersebut berisi penjelasan tentang cipta kerja yang dimaksud makelar.
“Yang dimaksud dengan “makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat,(6/1/2023).
“Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja,” tambahnya.
Ia pun bertanya-tanya apakah Presiden Jokowi dapat membayangkan potensi korupsi dari keberadaan pasal tersebut di Perppu Cipta Kerja. Ia menekankan, bahwa pasal yang berada di Perppu Cipta Kerja itu membuka peluang korupsi besar-besaran.
“Pasal tentang makelar yang diberikan mandat oleh Presiden? bukankah ini membuka peluang korup besar-besaran? tidak sedikitpun mencerminkan upaya untuk mengkongkritkan prinsip-prinsip prilaku buruk dan korup penyelenggara negara,” jelas dia.
Ia juga mengatakan, bahwa keberadaan pasal tersebut di Perppu Cipta Kerja telah menunjukkan tidak adanya upaya untuk melahirkan hukum yang relatif stabil, jelas, teperinci, dan dapat dipahami secara objektif.
“Selain dari tidak menyediakan proses yang dapat dipercaya dan dapat diterima banyak pihak, sehingga mengecewakan banyak ahli-ahli besar hukum Indonesia,” beber dia.
Dengan demikian, ia mempertanyakan, hati nurani dan martabat Presiden sebagai kepala dari penyelenggara negara. Ia mengingatkan, bahwa secara tersirat asumsi tradisional bangsa Indoensia adalah tentang rasa malu.
“Rasa malu juga sangat mengganggu jiwa, seseorang lebih baik mati daripada menahan rasa malu, contoh harakiri dalam tradisi Jepang. Namun bagaimana mungkin Perppu dengan pasal seperti diatas dapat ditanda tangani seorang Presiden,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena